- Devinisi dan istilah dalam farmakologi
Farmakologi terdiri dari dua kata yaitu farmakon yang
berarti obat dalam makna sempit, dan dalam makna luas adalah semua zat selain
makanan yang dapat mengakibatkan perubahan susunan atau fungsi jaringan tubuh.
Logos berarti ilmu sehingga farmakologi adalah ilmu yang mempelajari pengaruh
bahan kimia pada sel hidup dan sebaliknya reaksi sel hidup terhadap bahan kimia
tersebut.
Farmakodinamik adalah ilmu yang mempelajari cara kerja obat, efek
obat terhadap faal tubuh dan perubahan biokimia tubuh.
Farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari cara pemberian obat,
biotransformasi atau perubahan yang dialami obat di dalam tubuh dan cara obat
dikeluarkan dari tubuh.
Kemoterapi adalah pengobatan dengan tujuan mematikan bakteri,
parasit atau sel ganas (kanker), tanpa member gangguan pada penderita.
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari efek merugikan dari
suatu farmakon. Ilmu ini tidak hanya membidangi farmakon yang digunakan sebagai
obat, tetapi juga zat-zat yang digolongkan sebagai racun.
Dosis adalah takaran dari satu obat yang sama dapat berbeda
untuk cara pemberian yang berlainan misalnya riboflavin (vitamin B2) diperlukan
dosis 10 mg bila dimakan, tetapi cukup 2 mg bila disuntikkan.
Farmasi membidangi ilmu meracik obat, penyediaan dan
penyimpanan obat, pemurnian, penyempurnaan dan penyajian obat.
- Farmakokinetik
Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat
dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya (ADME).
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya
mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan
menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi
dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses farmakokinetika dan
berjalan serentak.
1. Absorpsi dan Bioavailabilitas
Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses
penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan
proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang
diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas.
Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai
sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini
terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari
tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme
oleh enzim di dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan
pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme
atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination)
atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang
tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi
istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi
sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi
lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian
parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal,
atau memberikannya bersama makanan.
2. Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh
tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi
obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas
2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama
terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik
misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua
jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di
atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru
mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang
interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu
melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut
dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak,
sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel
sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga
dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat
berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma
ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar
proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi
berat karena adanya defisiensi protein.
3. Biotransformasi / Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses
perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh
enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih
mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah
diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif,
sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi,
ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat
yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi
ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau
diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat
dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat
dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk
mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama
terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya
ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
4. Ekskresi
Obat dikeluarkan
dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil
biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi
lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan
resultante dari 3 preoses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di
tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Ekskresi obat
melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu
diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat
dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat
juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi
dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran
efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar
obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik,
misalnya arsen, pada kedokteran forensik.
- Farmakodinamik
Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia
berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme
kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat
dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang
terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional
dan berguna dalam sintesis obat baru.
1.
Mekanisme Kerja Obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu
organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan
biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut.
Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep
penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh.
Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi
fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum
konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen makromolekul
fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat,
tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang
ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai
senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai
aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di
tempat ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.
2. Reseptor Obat
Struktur kimia
suatu obat berhubunga dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas
intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan
stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat farmakologinya.
Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi
pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau
sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam keadaan tertentu,
molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain membentuk
sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
3. Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang
menyebabkan suatu substansi ekstraseluler (extracellular chemical messenger)
menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini
dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam
sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar.
Contoh, transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah
katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma
ialah steroid (adrenal dan gonadal), tiroksin, vit. D.
4. Interaksi Obat-Reseptor
Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan
substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen,
hidrofobik, van der Waals), dan jarang berupa ikatan kovalen.
5. Antagonisme Farmakodinamika
Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis
antagonisme, yaitu antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain
itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif.
Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat
oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan
pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau
ditiadakan disebut agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat
lain disebut obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain
disebut obat presipitan.
6. Kerja Obat yang tidak
Diperantarai Reseptor
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor.
Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau
molekul kecil, atau masuk ke komponen sel.
7. Efek Obat
Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur
(organ)/proses/tingkah laku organisme hidup akibat kerja obat.
- Faktor yang mempengaruhi efek obat
Beberapa factor yang mempengaruhi efek obat yang diberikan antara lain:
1. Faktor bukan obat
Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah:
·
Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin,
genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan kebiasaan hidup.
·
Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi
obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika.
2. Faktor obat
·
Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat
untuk menimbulkan efek samping.
·
Pemilihan obat.
·
Cara penggunaan obat.
·
Interaksi antar obat.
- Dasar – dasar toksikologi
Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup berbagai
disiplin ilmu yang sudah ada seperti ilmu kimia, Farmakologi, Biokimia,
Forensik Medicine dan lain-lain. Disamping itu ilmu ini terus berkembang
sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu lainnya, dan ini semua pada gilirannya
akan menyulitkan kita dalam membuat definisi yang singkat dan tepat mengenai
TOKSIKOLOGI. Sebagai contoh : menurut Ahli Kimia : TOKSIKOLOGI adalah ilmu yang
bersangkutan paut dengan effek-effek dan mekanisme kerja yang merugikan dari
agent-agent Kimia terhadap binatang dan manusia. Sedangkan dari para ahli
FARMAKOLOGI : TOKSIKOLOGI merupakan cabang FARMAKOLOGI yang berhubungan dengan
effek samping zat kimia didalam sistem biologik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar